Saturday, November 30, 2002

A Father's Prayer
General Douglas MacArthur

Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory.

Build me a son whose wishbone will not be where his backbone should be; a son who will know Thee and that to know himself is the foundation stone of knowledge.

Lead him I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.

Build me a son whose heart will be clear, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep; one who will reach into the future, yet never forget the past.

And after all these things are his, add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of true greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength.

Then, I, his father, will dare to whisper, have not lived in vain.

Wednesday, November 27, 2002

Make The Evolution Work For You

Ada tiga buku yang merubah pola pikir gua secara radikal: The Magic of Thinking Big karangannya David Schwarz, 7 Habits of Highly Effective People karangannya Stephen Covey, dan terakhir Rahasia Hidup (gue lupa pengarangnya siapa, sayangnya buku ini hilang, a friend of mine borrowed it and gone).

Buku Thinking Big, gua baca pertama kali waktu kuliah tingkat I. Buku ini bercerita tentang kekuatan pikiran, kekuatan niat, juga kekuatan sugesti. Salah satu konsep yang sampai sekarang gue ingat betul: "Kalau anda berpikir ttg kegagalan, maka pikiran anda secara otomatis akan berusaha membuktikan bahwa anda akan gagal, sehingga tindakan2 anda akan mengarah ke kegagalan, dan pada akhirnya anda akan benar-benar gagal.". Setelah baca buku itu, pandangan gua tentang dunia langsung berubah: mau jadi presiden? bisa! mau jadi orang paling kaya di dunia? bisa! mau ngapain lagi? terbang ke pluto? bisa! "Berpikirlah tentang keberhasilan, maka anda akan berhasil." That's the magic phrase.

Gue jalan kaki di kampus, melewati Boulevard, lap basket, tugu sukarno, memandang sekeliling dengan pandangan yang bergairah. "Here I am, the invincible man, the man who never thougt about failure, not a chance!". Well, it went on like that, until: gue dapet straight E di 4 kuliah (statika, matek, material teknik, satu lagi lupa).

I don't think I was that stupid. Kuliah2 itu masih kuliah dasar, nggak susah2 amat, I dare to say: easy. Tapi kenapa gue bisa dapet E. Memang benar: gue pemalas, malas belajar, malas kuliah, malas ngerjain tugas, segala-galanya malas. Wajar gue dapat E, tapi yg nggak wajar justru: kenapa gue jadi super pemalas kayak begitu? Belakangan gua menemukan penyebabnya: sintesa dari kemalasan dengan konsep magic of thinking big ternyata justru membuat gue malah jadi makin malas. Terlalu berpikir positif, sehingga melupakan faktor penentu: usaha.

Buku 7 Habits, pertama kali gue baca pertengahan tahun 96. Buku ini membuka horison baru tentang konsep bagaimana cara menjalani hidup dengan benar. Dimulai dari personal building, interpersonal building, hingga puncaknya: sinergi. Pemaparannya bagus sekali, menyentuh aspek kehidupan sehari-hari. Satu hal yang benar-benar gua resapi dari buku itu adalah emotional control: I am not a product of my culture, my conditions, or the conditioning of my life, rather I am a product of my value system, behaviour, and those things I control. Sayangnya, saat gue membaca buku itu, tidak semua pesan yg disampaikan mengena di hati dan pikiran gue. Paling tidak, sampai akhirnya gue membaca buku Rahasia Hidup.

Buku Rahasia Hidup, bentuk fisiknya sangat tidak meyakinkan: tipis sekali dan sampulnya jelek. Judulnya pun terkesan "picisan". Yang membuat gue tertarik untuk membaca buku itu, karena foreword-nya ditulis oleh Presiden Sukarno. Kok bisa2nya buku setipis ini menarik perhatian Sukarno. Setelah gue baca, ternyata isinya bagus sekali, ditulis dgn bahasa yg singkat & padat. Buku ini menjelaskan ke gua tentang konsep proses & usaha. Berlatar Islam, tapi tidak dogmatis, dipaparkan dalam bentuk yg rasional.

Ada satu cerita di buku itu yg sangat menggugah hati & pikiran gue, dan buat gue itu merupakan kepingan puzzle yg hilang dari Magic of Thinking Big & 7 habits. Ceritanya tentang Nabi Muhammad yang hendak berperang. Beliau nabi besar, yang dilindungi oleh Allah SWT, lalu kenapa harus bersusah payah memakai baju zirah untuk melindungi diri? Kenapa harus bersusah payah membawa pedang? Dan juga, kenapa harus bersusah payah berperang? Toh beliau bisa saja meminta kepada Allah untuk melenyapkan semua musuh-musuhnya tanpa harus capek2 perang. Begitu pula cerita tentang Nabi Musa dengan umatnya: "Hai Musa, pergilah engkau berperang, kami ingin duduk-duduk saja di sini". Umat Musa terlalu bergantung pada doa, pasrah, meninggalkan usaha.

Konsep yg absurd, seseorang yang seharusnya "untouchable" kenapa masih berusaha untuk melindungi diri? Then I realize: segala sesuatu harus diperjuangkan, tidak ada hasil instan, bahkan jika hasil tsb sudah di depan mata, masih tetap harus diperjuangkan.

Buku Magic of Thinking Big, mendorong gue untuk berpikir 'besar', tapi berdampak negatif berupa hasil instan. Rahasia hidup mengcounter sekaligus melengkapinya sementara 7 habits memberikan detailnya. Dan mengutip Chris Britton dlm bukunya IT Architecture, untuk mencapai sesuatu yg besar: make the evolution work for you.

My Evolution
Tengoklah ke belakang, ambil misalnya 10 tahun yg lalu, kita mungkin akan menertawakan diri kita sendiri. Kebodohan & kesalahan yg kita lakukan, terlihat jelas sekarang. Bisa jadi sekarang kita berpikir, kok bisa-bisanya dulu gue berbuat itu. Kenapa saat itu kita harus buang2 waktu melakukan kebodohan & kesalahan? Mungkin juga berharap:"andai saja dulu gue lebih pintar & lebih tau".

Tapi itulah evolusi: jalannya dibuka oleh usaha dan kesalahan merupakan akseleratornya. Justru tanpa berbuat salah, mungkin saja kita tidak pernah mencapai kondisi ini sekarang, kita mungkin tidak pernah sepintar ini sekarang.

Kenapa Harus Marah? (Melihat Orang Lain Berevolusi)
Once, di tempat kerja gue yg lama, gue di-assign untuk me-manage satu project. Saat project mencapai red-alert, muncul satu bug yang cukup signifikan. Bug tsb mempengaruhi fungsionalitas sistem dan cukup fatal. Kebetulan, saat itu sudah out-of-office-hour, programmer yg diassign utk membuat bagian tsb sudah pulang. Gua berusaha memperbaikinya, dan spend many hours untuk memperbaiki bug yg ternyata very stupid.

Ada satu prinsip sederhana: 'if you make duplicate code over & over, convert that bunch of codes into sub-routine/separate method'. Gue berhasil men-spot darimana bug tsb berasal, tapi setelah gue perbaiki, kenapa problem yg sama masih muncul? Akhirnya seluruh sistem gue analisis (which was useless), sampai akhirnya ketauan kalo code yg gue perbaiki ternyata ditulis berulangkali dan untuk menghilangkan bug tsb gue harus memperbaiki seluruh duplikatnya. Stupid! I became angry at once. The next day, I called a meeting, pinpointing the problem, dan dalam sesi design gue minta supaya tim analyst sebisa mungkin tidak menyerahkan code implementation ke programmer itu, khususnya utk critical code.

Setelah gue mengenal lebih dekat programmer tsb, ternyata dia berada dlm titik yg berbeda dgn programmer lain, let's say, progress-nya terlambat. Dia ber-evolusi untuk menjadi programmer yg lebih baik, tapi gue ga realize, kalo titik berangkat evolusinya berbeda dengan orang lain. Nggak fair kalau gue marah sama dia, justru seharusnya gue meng-encourage dia untuk ber-evolusi lebih baik.

Keberhasilan Adalah Hasil Evolusi
Kadang gua merasa malas membuat sesuatu atau berusaha mencapai sesuatu, karena hasil yg gue dapat menurut gua tidak memuaskan. Sampai akhirnya gue membaca artikel menarik di MSDN, tentang UI development:

I got close enough to see the large sketchpad and saw 30 or 40 different variations that he had considered and put down on paper. I introduced myself, pleaded ignorance about design, and asked him why he needed to make so many sketches. He thought for a second, and then said, "I don't know what a good idea looks like until I've seen the bad ones." --Why Good Design Comes from Bad Design:

That's my problem. Ternyata gua terlalu memandang rendah suatu bad-design, meremehkan suatu karya yg jelek. Begitu ketemu hasil yg jelek, langsung kehilangan semangat. Celakanya, gue sempat menganggap, menghasilkan bad-design adalah buang-buang waktu. Walhasil, sedikit sekali progress yg gue hasilkan. Mungkin gua terlalu terpengaruh oleh hingar-bingar success story orang2 terkenal, taruhlah Bill Gates, Larry Ellison, Steve Case, Jack Welch, dsb. Gua melihat hasil akhirnya saja, yg glamour, kurang menaruh perhatian pada proses di balik itu. Saat itu gue tidak menyadari, kondisi yg ada saat ini merupakan hasil evolusi, hasil survival.

...ada banyak alasan bagi Abraham Lincoln untuk berhenti dan tidak melanjutkan "perjalanan" politiknya. Hidupnya berisi catatan panjang kekalahan. Delapan kali ia kalah dalam pemilu. Dua kali ia gagal dalam bisnis, dan menghabiskan waktu 17 tahun untuk melunasi utang-utangnya. Ia juga pernah tergolek selama enam bulan di tempat tidur karena mengidap penyakit syaraf. Namun, semuanya itu tidak menghentikan langkahnya. Dan terbukti, berhasil! Tahun 1860, Abraham Lincoln terpilih sebagai Presiden AS serta kelak kemudian hari tercatat sebagai salah satu presiden terbesar dalam sejarah negerinya. Akhirnya, orang mengingat Abraham Lincoln sebagai "Sang Pemenang". --Akhir dari Sebuah Perziarahan