Wednesday, November 06, 2002

Evolusi Cita-Cita

TK:
Bapak, Ibu, Oom, dan Tante, sering bertanya pertanyaan klasik: kalau besar mau jadi apa? Dijawab: "Insinyul". Jawaban yang singkat dan tanpa mikir. Gara2 bokap insinyur, kayaknya cuma itulah satu-satunya cita-cita yang ada di dunia.

SD:
Ditanya lagi pertanyaan yang sama. Jawabannya mulai rada mikir dan cari yg mentereng: "Arsitek". Tapi tetep aja, jawaban yang ngasal juga. Nggak tau apa2 tentang arsitek, taunya cuma: arsitek itu tukang gambar rumah, hasil gambarannya bagus-bagus dan njelimet.

SMP:
Cita-cita jadi arsitek udah nggak ada lagi di kepala, karena udah sadar diri: kagak bisa nggambar. Jawabannya udah melenceng jauh: "tentara". Yang satu ini muncul karena terpengaruh aktivitas Pramuka yang rada2 militeristik, kayaknya seru juga hidup ala militer. (my first love sempet ngedumel gara2 tentara ini).

SMA:
Di sini cita-cita mulai chaotic, nggak jelas, nggak karu-karuan. Untungnya, saat kelas 3 muncul pola pikir ajaib: 'lulus UMPTN adalah pencapaian terbesar' dan masuk ITB adalah 'cita-cita mulia' (mengutip seorang pengajar SSC, dengan logat jawanya yang sangat kental: 'Pokoknya I-Te-Be').

Kuliah:
Tingkat I:
Ingin membuat industri robot. Langkah awal: beli buku 'Fundamental of Robotics'. Hmmm...sampai detik ini buku setebal bantal itu cuma terbaca kira2 20-an halaman: tidak menarik & njelimet.
Tingkat II:
Terpengaruh pola pikir sosialis, karena kebanyakan nongkrong di Student Center. Cita-cita berubah drastis: bagaimana caranya menjadi seorang kapitalis yang sosialis? Gampang: kumpulkan kapital sebanyak-banyaknya dan manfaatkan untuk orang banyak. (Yupp...main obstacle: kalau udah dapet kapital banyak, bisa lupa diri. God Help Me).

Pilih mana:
Jadi orang kaya tapi bisa menyumbang banyak,
atau
jadi orang biasa-biasa aja tapi nggak pernah nyumbang
atau
jadi orang miskin tapi sombong?

Today:
Masih miskin tapi sombong.